Tiga Keraton Satu Darah: Era Baru Raja-Raja Jawa, Dari Mataram ke Zaman Digital
Font Terkecil
Font Terbesar
BERITA SOLO | SOLO —Tiga keraton besar di Tanah Jawa, Kasunanan Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan Pura Mangkunegaran, lagi-lagi jadi sorotan.
Bukan cuma karena sejarah panjangnya, tapi juga karena peran baru para rajanya di tengah dunia yang makin digital.
Meski hidup di abad ke-21, mereka tetap membawa DNA besar dari Kerajaan Mataram Islam, kerajaan yang dulu mempersatukan Jawa dan menanamkan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana, menjaga harmoni semesta.
Kasunanan Surakarta: 280 Tahun dan Babak Baru Suksesi
Keraton paling tua di antara tiga bersaudara ini berdiri sejak 1745, artinya sudah berusia 280 tahun. Setelah wafatnya Pakubuwono XIII Hangabehi di usia 77 tahun, keluarga inti keraton akhirnya bulat menunjuk KGPAA Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra (45 tahun) sebagai raja penerus takhta.
Putri mendiang raja, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewi Yani, menegaskan keputusan ini adalah hasil mufakat keluarga inti.
"Keputusan keluarga inti ini bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat," tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pihak luar tidak punya wewenang menentukan suksesi. Harapannya, keputusan ini bisa menutup polemik dan membawa era baru kepemimpinan Kasunanan yang lebih stabil dan terbuka pada zaman.
Keraton Yogyakarta
Dari Giyanti ke DIY Didirikan tahun 1755 oleh Pangeran Mangkubumi alias Sultan Hamengkubuwono I, Keraton Yogyakarta kini berumur 270 tahun dan tetap jadi satu-satunya kerajaan yang diakui negara.
Di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono X (78 tahun), keraton ini sukses menyeimbangkan nilai-nilai budaya dengan tanggung jawab politik sebagai Gubernur DIY. Sultan dikenal moderat dan visioner, menjaga warisan leluhur sambil merangkul modernitas.
Pura Mangkunegaran: Muda, Kreatif, Visioner
Dua tahun lebih muda dari Yogya, Pura Mangkunegaran berdiri pada 1757 oleh Raden Mas Said alias Mangkunegara I. Kini, tongkat estafet berada di tangan KGPAA Mangkunegara X (Raden Mas Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo) yang masih 36 tahun, generasi muda dengan energi segar.
Mangkunegaran tampil beda: aktif di ruang digital, terbuka untuk kolaborasi budaya, dan memadukan tradisi dengan gaya hidup modern.
Satu Darah, Tiga Nyala
Kasunanan, Yogyakarta, dan Mangkunegaran bukan sekadar simbol masa lalu. Mereka adalah tiga obor dari satu nyala api Mataram, menyalakan kembali semangat pengabdian dan kebangsaan lewat budaya.
Seperti pesan almarhum Taufik Kiemas, “Politik adalah pengabdian, bukan ambisi.” Nilai itu kini hidup lagi di tangan para raja Jawa, yang bukan sekadar pewaris tahta, tapi penjaga jiwa bangsa. Karena pada akhirnya, kekuasaan bisa pudar, tapi budaya dan pengabdian akan selalu abadi. (*)
