Kisah 130 Tahun BRI: Dari Kas Masjid Purwokerto Hingga Jadi Bank Raksasa
Font Terkecil
Font Terbesar
BERITA SOLO | BANDUNG — Memasuki usia 130 tahun, Bank Rakyat Indonesia (BRI) kembali menegaskan dirinya sebagai bank terbesar di Indonesia yang tetap berpijak pada akar sejarahnya: lembaga keuangan yang lahir dari rakyat dan bekerja untuk rakyat.
Hal itu disampaikan oleh Bu Kris B. Sari, salah satu pegawai BRI Kantor Wilayah Bandung, saat ditemui wartawan dalam kegiatan sosialisasi internal di Bandung, pada Sabtu, 6 Desember 2025.
"Banyak orang belum tahu, BRI itu bukan sekadar bank besar. Ia lahir dari kepedulian sosial, dari upaya membantu masyarakat kecil yang waktu itu tidak punya akses keuangan," ujar Bu Kris B. Sari membuka percakapan.
Lahir dari Kas Masjid Purwokerto
Bu Kris B. Sari menjelaskan bahwa sejarah BRI dimulai dari langkah kecil yang visioner.
"Pendiri awalnya adalah Patih Purwokerto, Raden Aria Wirjaatmadja, pada tahun 1895. Awalnya beliau sering membantu warga menggunakan uang pribadi. Tapi karena kebutuhan makin besar, dana pribadi tidak lagi mencukupi," jelasnya.
Dari kondisi itu lahir gagasan besar.
"Beliau lalu berdiskusi dengan tokoh masyarakat, dan muncullah ide menggunakan kas Masjid Purwokerto untuk membantu pegawai pribumi yang sedang kesulitan. Untuk masa itu, ini langkah yang sangat progresif," ujarnya.
Terhambat Regulasi Kolonial, Namun Tetap Berjalan
Upaya mulia itu sempat dibatasi oleh pemerintah kolonial Belanda yang melarang penggunaan dana masjid untuk kebutuhan non-ibadah.
"Tapi aktivitas pinjam-meminjam tetap berjalan secara informal karena masyarakat sangat percaya. Para peminjam disiplin, dan itu membuktikan masyarakat mampu mengelola keuangan sendiri," kata Bu Kris B. Sari.
Keberhasilan itu memikat perhatian tokoh-tokoh Eropa pendukung politik etis, hingga akhirnya lahir lembaga resmi Bank Priyayi Purwokerto.
Perjalanan Panjang Nama hingga Menjadi BRI
Transformasi kelembagaan berlangsung dengan sejumlah perubahan nama.
"Pernah dikenal sebagai Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren, kemudian Volksbank, lalu Centrale Kas Voor Volkscredietwezen," jelas Bu Kris B. Sari.
Bentuknya kian modern saat menjadi Algemene Volkscredietbank (AVB), sebelum berubah menjadi Syomin Ginko pada masa pendudukan Jepang (1942–1945).
BRI Pasca Kemerdekaan: Agen Pembangunan Rakyat
Setelah Indonesia merdeka, peran BRI diperkuat secara formal.
“Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 menetapkan BRI sebagai bank umum yang menjalankan fungsi strategis untuk pembangunan nasional. Sejak dulu, fokus kami tetap pada rakyat kecil,” ujarnya.
BRI Era Modern: Besar, Digital, Tapi Tidak Lupa Asal-Usul
Kini, BRI menjadi bank dengan jaringan terluas, teknologi kuat, serta portofolio UMKM terbesar di Indonesia. Namun semangat awal tetap dijaga.
“Dari kas masjid hingga digital banking hari ini, jiwanya tetap sama: memberdayakan masyarakat kecil agar bisa tumbuh mandiri,” kata Bu Kris B. Sari.
Bu Kris B. Sari juga menegaskan bahwa strategi BRI hari ini selaras dengan Asta Cita Presiden Prabowo, terutama pada agenda:
* Pemberdayaan ekonomi rakyat
* Penguatan UMKM dan pembangunan desa
* Pemerataan ekonomi melalui inklusi keuangan
* Transformasi digital untuk layanan publik dan pemberdayaan ekonomi
“BRI memang berada di garis depan dalam menjalankan poin Asta Cita, terutama yang menyangkut ekonomi kerakyatan. Itu sudah menjadi DNA kami sejak 1895,” ujarnya.
Mengakhiri wawancara, Bu Kris B. Sari tersenyum saat ditanya makna usia 130 tahun BRI.
"Ini bukan sekadar perayaan. Ini bukti sejarah panjang keberpihakan. Dari kas masjid di Purwokerto sampai menjadi bank raksasa hari ini, satu hal tidak berubah: BRI tetap untuk rakyat," pungkasnya. (sa/by)
